Sabtu, 05 Januari 2008

Skandal Lapindo dan Apatisme Brutal

Oleh : Ali Rhamadhan

“Air riak tanda tak dalam.” Pepatah demikian kiranya tergambar dari petinggi negeri ini yang kian kabur dalam menuntaskan kasus Lapindo. Sebaliknya “air tenang menandakan kedalaman,” itulah gambaran yang melekat dalam diri korban lumpur panas Lapindo.
Dua pepatah tersebut ditunjukkan oleh pemandangan kontras di lapangan. Para petinggi negeri ini tampaknya sangat dermawan dengan janji-janji untuk segera menuntaskan kasus Lapindo. Mereka (pejabat) menganggap bahwa janji setidaknya dapat meredam keresahan warga Sidoarjo. Sementara, dari perspektif korban hitungan satu tahun kasus Lapindo, dan tinggal di tempat penampungan, ditambah miskinnya realisasi janji pemerintah menambah panjang penderitaan yang harus ditanggung warga.


Laksana bola salju, keresahan warga terus bergulir manakala upaya untuk negosiasi terus berujung pada kebuntuan atas hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah direnggut oleh PT. Lapindo Brantas.
Sikap “apatisme diam” (acuh tak acuh) warga yang selama ini dianggap lumrah oleh pemerintah, ternyata ditunjukkan oleh warga dengan demonstrasi massal yang hampir berujung pada bentrokan saat korban meminta pertanggungjawaban PT. Minarak Lapindo Jaya (anak perusahaan Lapindo yang mengurusi ganti-rugi), Kamis lalu (26/04).
Pilihan mengambil sikap apatis kiranya sangat wajar, karena Pertama, terindikasinya PT. Lapindo untuk menghindari tanggung jawabnya. Diantaranya adalah pembayaran pola dengan mekanisme cicilan, pembentukan Badan Pelaksana Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPPLS), perbaikan infrastruktur oleh pemerintah via APBN, indikasi ini makin sempurna dengan dibentuknya Perpres No.14/2007. Kedua, lambannya pemerintah menuntaskan derita korban.
Persoalan yang harus dicermati adalah jika sikap “apatisme diam” ini bergeser menjadi “apatisme brutal”. Menyimak demonstrasi warga korban Lapindo kemarin, yang memblokade Jalan Raya Porong, Sidoarjo dan memberhentikan kereta api, adalah sinyalemen kuning yang seharusnya tak lagi dipandang sebelah mata oleh pemerintah.
Ibarat api dalam sekam, apatisme brutal dapat meledak suatu saat, dapat membakar satu rumah menjadi satu desa, seperti semburan lumpur Lapindo yang menjebol tanggul-tanggul.
Apatisme brutal bermuara pada agresivitas warga yang kian tak terbendung lagi. Pada hakekatnya kecenderungan agresi sudah tertanam dalam diri tiap manusia. Dengan ada atau tidaknya stimulan sekecil apapun, agresi tersebut tetap akan mencari pelampiasan (Erich Fromm Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia).
Meskipun pemerintah punya otoritas menggunakan “aparatus state”-nya atas nama “ketertiban umum,” (Max Weber Politics as a vocation, 1918) namun kelelahan warga Sidoarjo terhadap kondisi ketidakpastian, pelepasan energi agresi korban lumpur tak lagi memandang “aparatus state”.
Erich Fromm bahkan memberi ketegasan upaya pelepasan energi agresivitas pada dasarnya berbanding lurus dengan upaya untuk mempertahankan diri. Fromm mendeskripsikan, bahwa upaya ini menyiratkan berbagai unsur resistensi, harapan, dan tindakan-tindakan non-nurani, pemalsuan realitas menurut kebutuhan subjektif, dan semua unsur ini bermuara pada berbagai cara dengan hasrat untuk mempertahankan diri.
Tentu saja, upaya ini ini akan meminggirkan kondisi represi yang dilakukan pemerintah. Artinya, warga tak lagi memandang barisan aparat keamanan yang siap melibasnya, atau menghalang-halangi niat warga untuk melampiaskan kekesalannya. Intinya, upaya warga untuk melepaskan energi agresivitasnya merefleksikan tindakan-tindakan manipulatif yang dilakukan oleh pemerintah.
Tindakan manipulatif dapat ditelusuri dari berbagai aspek. Pertama, teknis penanganan pemberian ganti rugi. Ini dapat dilihat dari janji awal pemerintah yang akan menuntaskan pemberian ganti rugi sebesar 20 persen pada awal Maret 2007, hingga batas waktu 2 Mei 2007.
Molornya waktu realisasi ganti rugi, menjadi permakluman lantaran tak ada data akurat mengenai status kepemilikan tanah warga korban lumpur. Kesimpangsiuran data antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sidoarjo masih memerlukan kecocokan dengan data yang dimiliki Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (PSLS), sehingga memerlukan verifikasi ulang.
Kedua, ketidakpastian status hukum warga terhadap pengembalian hak sosial-ekonomi, dan budaya (EKOSOC) yang hilang. Ini dapat dilihat dari hasil pertemuan perwakilan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (Perumtas) Sidoarjo dengan Presiden dan Wakil Presiden di Jakarta beberapa hari lalu. Dalam bentuk minimalis, hanya dihasilkan kesepakatan yang sulit dicari penyelesaian hukumnya, jika suatu saat pemerintah kembali mangkir dari janjinya. Dan ironisnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Aburizal Bakrie tidak membubuhi tandatangannya.
Ketiga, pengaburan status hukum perusahaan Lapindo Brantas. Status perusahaan Lapindo Brantas Inc sendiri bukanlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini dapat dilihat dari beberapa design. Pertama, adalah menetapkan semburan tersebut adalah bencana nasional tanpa melihat apakah ada kesalahan prosedur atau tidak.
Kedua, dengan sengaja sikap pemerintah mendua. Di satu sisi “menyalahkan” Lapindo yang harus merogoh koceknya sebesar 4,2 trilliun rupiah, namun di saat yang sama pemerintah “menganggap” sebagai bencana alam, sehingga APBN-Perubahan 2007 harus menanggung 3,4 trilliun rupiah. Ketiga, Lapindo hanya dikenakan separuh dari total biaya penggantian terhadap korban, dan tidak untuk infrastruktur. Merujuk data Bappenas, prediksi kerugian infrastruktur mencapai 7,5 trilliun rupiah.
Intinya, kita belum melihat tindakan tegas pemerintah memandang Lapindo sebagai korporasi, apakah ditutup, atau diambil alih asetnya, seperti halnya kita melihat tindakan tegas pemerintah terhadap kasus kematian Cliff Muntu di kampus IPDN.
Keempat, pengaburan siapa pihak yang mesti dituntut pertanggungjawabannya. Ini pun tidak tertuang secara khusus dalam Perpres No.14/2007. Pada akhirnya warga kebingungan pihak mana yang harus dituntut pertanggungjawabannya. Badan Pelaksana Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPPLS) atau PT. Minarak Lapindo Jaya (anak perusahaan Lapindo yang ditugasi untuk mengurusi pembayaran). Kondisi yang terjadi, BPPLS terkesan hanya sibuk membenahi semburan lumpur, sementara PT. Minarak enggan untuk berbuat lebih banyak, dan hanya ingin memposisikan dirinya sebagai “kasir” perusahaan Lapindo.
Di titik inilah, kiranya analisa Yasraf Amir Piliang dapat menjadi rujukan. Konflik antar energi bersifat dialektis hingga pada satu titik, dimana batas tertentu tak lagi punya makna bagi manusia dan kemanusiaan (Postrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika; 2004). Energi pemerintah , yang bersekutu dengan Lapindo “vis a vis” dengan kelelahan politik pada satu titik dapat mengarah pada bentuk yang lebih ekstrim. Sebagai penutup, sekali lagi, jika pemerintah masih menganggap remeh persoalan korban Lapindo, maka percepatan waktu pelepasan energi agresi warga akan semakin dekat. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang demonstran; “Kami berani mati, sebab kami sudah tidak punya apa-apa lagi, akibat bencana lumpur Lapindo.”

Tidak ada komentar:

Your IP

Sign by Dealighted - Coupons and Deals

GMT